Pages

Selasa, 19 Juli 2011

4 Perbedaan Terbesar Orang Indonesia dan Amerika

Amerika (USA), siapa yang tidak tau dengan negara ini? Kalo bicara mengenai negara ini tentu ga akan habis2nya. Warga Amerika memiliki pola hidup yang sering dijadikan contoh untuk diikuti oleh warga2 negara lain terutama kehidupan kaum remajanya, termasuk juga sebagian besar remaja Indonesia. Amerika merupakan negara yang unggul di segala bidang, baik itu Pertahanan, Ekonomi, Budaya, dan Pendidikan. Dalam dunia pendidikan, terdapat 4 (mungkin lebih) perbedaan yang sangat mencolok dibandingkan dengan sistem pendidikan di Indonesia, hal itulah yang menjadikan betapa bila dibandingkan dengan sistem pendidikan di Indonesia, maka terlihat jelas sistem pendidikan di Amerika jauh lebih maju dan berakibat juga pada terciptanya manusia2 cerdas di sana.
Adapun Perbedaan itu..

1. Pilih yang mana, universitas/sekolah swasta atau negeri?

Coba anda ajukan pertanyaan ini kepada orang Indonesia, pasti mereka akan langsung menjawab “jelas negeri!”. Di Indonesia, sekolah swasta umumnya tidak terlalu terkenal, kecuali jika memang punya nama besar seperti Bali International School atau sejenisnya yang memiliki prestasi tingkat tinggi. Umumnya orang Indonesia lebih memilih sekolah negeri karena biaya lebih murah. Begitu juga dengan orang Amerika. Sekolah negeri atau public schools di sana memang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah negara bagian yang bersangkutan. Namun, ketika menyangkut kualitas, umumnya sekolah swasta di Indonesia memiliki sedikit masalah dengan kualitas. Persepsi bahwa sekolah swasta memiliki mutu yang kurang daripada sekolah negeri menyebabkan sekolah negeri kebanjiran peminat. Lain halnya dengan di Amerika. Meskipun biayanya lebih mahal, sekolah swasta dilirik oleh orang mampu karena sekolah swasta atauprivate schools umumnya memiliki image borjuis dan elite. Soal mutu, mungkin ada perbedaan sedikit, tapi tidak terlalu signifikan.

2. Yang mana duluan, teori atau praktek?

Sistem pendidikan di Indonesia terlalu menekankan pada teori. Semuanya berdasarkan teori. Memang sekolah mempunyai lab, namun jarang digunakan. Siswa-siswa SD diajarkan materi yang jauh melebihi kemampuan nalarnya. Secara akademis, mereka bagus. Namun, begitu disuruh melakukan praktek, mereka kelabakan. Seperti sebuah adegan dari film 3 Idiots, hanya Rancho yang mempraktekkan air garam sebagai elektrolit dengan cara menyetrum seniornya yang kencing di depan pintunya dengan sebuah sendok.Semua orang tahu kalau air garam adalah elektrolit, tapi tidak semua orang bisa mempraktekkan kegunaannya.

Orang Amerika berbeda lagi. Mereka memiliki rasa ingin tahu dan sikap ilmiah yang cukup tinggi. Sistem pendidikan berbasis pada learning by doing atau “belajar dengan cara melakukan”. Jika anda berkunjung ke sekolah Amerika, biasanya pada pelajaran sains, lab pasti ramai. Selain itu, di beberapa sekolah, terdapat kewajiban kerja amal. Ini melatih soft skill siswa untuk hidup di masyarakat. Sebagai perbandingan, dalam kurikulum Amerika tidak dikenal adanya “Pendidikan Agama” ataupun “Budi Pekerti” atau “Pendidikan Anti-Korupsi”. Tapi apakah itu berarti mereka tidak punya moral dan akhlak? SALAH BESAR! Di Indonesia, kita hanya mempelajari teori Budi Pekerti, bukan mempraktekkan, sedang orang Amerika sudah belajar etika dari masyarakat sejak kecil.

3. Konsumerisme

Orang Indonesia cenderung ikut-ikutan. Entah itu trend handphone, memakai kawat gigi, bermobil, dan sejenisnya. Hal itu menyebabkan tingkat konsumsi Indonesia akan barang luar sangat besar. Apalagi penyebabnya kalau bukan iklan-iklan tidak bermutu di media massa dan tekanan teman-teman (peer group). Remaja-remaja membuang-buang uang untuk membeli BlackBerry, berbondong-bondong ke ahli gigi untuk memasang kawat gigi yang membuat penampilan mereka semakin hancur saja, dan merengek kepada orang tua agar dibelikan mobil. Bahkan para orang tua pun memiliki konsumsi yang cukup besar, apalagi yang tinggal di daerah metropolitan macam Jakarta.

Sebenarnya orang Amerika tidak terlalu berbeda, tapi mereka mempunyai konsep yang jelas tentang keuangan mereka. Dengan bantuan financial advisor, perencanaan keuangan menjadi mudah. Ditambah dengan asuransi, maka mereka tidak perlu khawatir apabila mobil mereka tiba-tiba hancur. Tapi yang terlihat jelas berbeda adalah kemampuan remaja Amerika dalam mencari uang sedari remaja. Tidaklah aneh melihat mahasiswa bekerja di sebagai kasir convinience store atau busboy di McDonalds untuk mencari tambahan uang jajan. Intinya, mereka lebih tahu cara menggunakan uang.

4. Apakah jalan hidupmu hanya satu, atau banyak?

Sistem pendidikan Indonesia memiliki ciri khas, yaitu sistem penjurusan sedari SMA yaitu IPA dan IPS. Dan celakanya, pamor jurusan IPA lebih baik daripada IPS. Hal ini membuat seolah-olah jalan hidup dibagi menjadi 2, yaitu mau jadi orang IPA atau IPS. Tapi tetap saja, sistem pendidikan Indonesia tidak menghargai siswa itu sendiri karena sistem ini. Siswa adalah sebuah wildcard, seorang Novice yang belum memperoleh Job dan mengalokasikan Skill Point. Dengan adanya penjurusan, maka sekolah mematikan hak siswa untuk memilih apa yang disenangi.

Di Amerika, siswa diberi kebebasan memilih mata pelajaran apapun yang ia sukai. Selain menyenangkan, sistem itu membuatnya lebih cepat mengenali kemampuannya sendiri. Hal ini sesuai denga pandangan liberal bangsa Amerika.



Sumber : yafi20.blogspot.com

Selengkapnya...

Kamis, 07 Juli 2011

Siswa Pemenang Olimpiade ini Kecewa dengan Janji Pemerintah

Ditolak di negeri sendiri, siswa asal SMAN 1 Purwokerto ini justru diterima di salah satu Universitas ternama di Singapura

Masih adanya praktek diskriminasi dalam dunia pendidikan di negeri ini, kelak bakal semakin banyak manusia2 cerdas Indonesia yang lebih memilih mengabdikan dirinya untuk negeri lain, karena tidak adanya rasa penghargaan, tidak ada sikap respek terhadap kecerdasan seseorang, dan tidak adanya rasa memiliki di negeri ini, yang ada hanya sifat tamak, angkuh dan korup.




Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) menorehkan prestasi di ajang International Chemistry Olympiade (IChO)
atau Olmpiade Kimia Internasional yang berlangsung di Tokyo, Jepang, 15-27 Juli 2010. Indonesia meraih 1 medali emas, 1 perak, dan 2 perunggu.

Selasa, 05 Juli 2011 | 22:56 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta -Stephan Haniel, siswa yang baru lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas tahun ini bukan pelajar bernilai rata-rata di sekolahnya. Siswa menginjak usia 18 tahun ini bahkan berhasil menggondol medali perunggu dalam ajang Olimpiade Kimia Internasional di Jepang tahun lalu.

Tahun ini pun, ia kembali akan bertarung di ajang yang serupa untuk mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Namun, semburat kekecewaan terlihat di wajahnya saat Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal secara khusus melepas kepergian 5 tim olimpiade sains internasional di kantor Kementerian Pendidikan Nasional malam ini, Selasa 5 Juli 2011.

Dalam kesempatan ini, di ruangan pertemuan menteri, Stephan mengeluarkan keluh kesahnya. Ia mengaku kecewa atas janji pemerintah yang diberikan khusus kepada anak-anak yang meraih prestasi di ajang bergengsi. "Kami kecewa, sudah diberi janji beasiswa dan diberi kemudahan masuk kuliah jurusan manapun yang saya mau tapi tetap tidak masuk,"ujarnya.


Permasalahan yang dialami Stephan yakni tidak diterima di Universitas Negeri di Indonesia melalui jalur undangan. Padahal jika bertolak dari Instruksi Presiden di tahun 2008, siswa yang meraih medali diberikan kesempatan emas untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dengan beasiswa.

Ditolak di negeri sendiri, siswa asal SMAN 1 Purwokerto ini justru diterima di salah satu Universitas ternama di Singapura. "Tidak dengan syarat-syarat yang ribet, tinggal masuk saja," kata Stephen. Akan tetapi kendala yang dialaminya tidak berhenti begitu saja. Oleh universitas tempat ia diterima mengharuskannya untuk segera membayar biaya segala macam. "Tapi beasiswa dari sini (pemerintah) baru turun tahun depan," tuturnya. Ternyata, tidak hanya Stephan yang mengalami nasib serupa. Stephan membeberkan kejadian yang dialami sesama peserta olimpiade internasional yang mengalami keterlambatan pencairan uang beasiswa hingga tidak diterima di perguruan tinggi negeri."Ada teman yang juga dapat medali tapi tidak diterima SNMPTN undangan karena dia bukan dari sekolah favorit, (WTF..???)" tukasnya. Anugerah Erlaut, mahasiswa tingkat dua di Nanyang Technology University Singapura contohnya. Ia berhasil meraih medali perak dan emas di olimpiade Biologi Internasional berturut-turut di tahun 2008-2009. Ia mengeluhkan lambatnya biaya beasiswa yang turun. Padahal di bulan September semestinya uang bayaran sudah harus disetornya. "Dan saya ke sana karena adanya kemudahan, tidak susah seperti teman di dalam negeri," kata Anugerah saat ditemui di kesempatan yang sama. Dalam pertemuan kali ini, Stephen dan Anugrah pun mengharapkan agar pemerintah dapat dengan segera menurunkan uang beasiswa yang diterimanya. "Padahal tadi katanya kita mewakili 240 juta penduduk Indonesia, tapi gimana nasibnya kalau kami yang sudah bawa nama bangsa tapi di drop out karena tidak bisa membayar,"pungkas Stephen. 

Sumber : tempointeraktif
Selengkapnya...