Pendidikan Yang Menggeli(sah)kan
Oleh Benni Sinaga, SE
Selaku pendidik, Mochtar Buchori (Kompas, 9/2/2010) mencurahkan kegelisahannya (kegeliannya juga?) lewat tiga ”kalimat kunci”-nya. Kalimat kunci pertama adalah ”… dalam kasus kita sekarang, krisis moral jadi sumber krisis- krisis yang lain. …. Begitu pula keributan tentang ujian nasional, hemat saya adalah dampak dari krisis moral.” Jalan keluar menerobos krisis moral itu hanya satu, yakni kita sendirilah yang harus mengendalikan krisis moral itu sekarang ini juga karena tidak mungkin krisis moral akan dihentikan oleh kekuatan lain/dari luar. Kalimat kunci kedua, ”… krisis moral yang ada sekarang bisa menimbulkan krisis wibawa.” Jalan keluar utama yang ditawarkannya adalah hendaknya para politisi benar-benar tampil sebagai sosok yang berwibawa karena dunia politik dewasa ini adalah bidang yang pertama mengalami krisis wibawa.”Adapun kalimat kunci ketiga berupa ”jawaban kunci”, yaitu kita membutuhkan pendidikan karakter supaya kehidupan politik bangsa tidak terus berjalan tertatih-tatih dan terlepasdari konteks masalah yang sedang terjadi.
Moralitas Pendidikan
Alkisah, di hutan belantara yang lebat diselenggarakan sebuah sekolah untuk hewan-hewan dengan mata pelajaran utama berlari, memanjat, terbang, dan berenang mengingat empat ”ilmu” itulah yang pasti membekali hewan-hewan untuk dapat sintas. Kucing hitam memperoleh predikat summa cum laude untuk berlari dan memanjat, tetapi ia sangat sengsara dan benar-benar jelek untuk ”ilmu” berenang dan terbang. Si angsa justru kebalikannya, hanya dalam hitungan hari, ia sudah sangat mahir dalam mata pelajaran berenang dan terbang, tetapi benar-benar menderita lahir-batin untuk memanjat dan berlari (baca tulisan Kak Seto dalam Membuka Masa Depan Anak-anak Kita, Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI- editor Sindhunata; Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2000). Pesan moralnya jelas: setiap individu siswa pasti memiliki potensi yang mungkin sama, tetapi sangat mungkin berbeda. Ratusan, bahkan ribuan siswa sangat mungkin memperoleh predikat summa cum laude untuk mata ujian Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, tetapi sangat mungkin ada jutaan siswa yang mengalami penderitaan lahir-batin karena dua mata ujian itu. Rupanya, di situlah ribut-ribut tentang ujian nasional disebut sebagai dampak krisis moral oleh Mochtar Buchori karena ada bahaya generalisasi yang menuntut ”kucing hitam harus sepotensi dengan angsa dan sebaliknya”.
Moralitas pendidikan terletak pertama-tama pada model pendidikan yang berpusat pada anak/siswa, bukan berpusat pada pemerintah/kebijakan, guru, ataupun kepala sekolah. Artinya, siswa benar-benar sebagai pusat dan subyek utama semua kegiatan pendidikan, dan karena itu sangat bertentangan dengan moralitas ketika dunia pendidikan dijadikan sebagai tempat untuk hitung-hitungan dan arena bisnis. Ribut-ribut sekitar ujian nasional jangan-jangan ada aspek- aspek bisnis di balik layarnya. Ketika aspek bisnis merasuki dunia pendidikan, yang muncul dan didengung-dengungkan adalah pentingnya persaingan (ketat) ataupun rivalitas antarindividu siswa, antarsekolah, dan antarinstansi. Situasi kompetitif memperlihatkan bahwa pelaku bisnis (termasuk pelaku bis nis dalam pendidikan pun) akan memperlakukan/menganggap pihak lain sebagai rival. Dampak rivalitas tersebut adalah eliminasi. ”Eliminasi terhadap kecenderungan rivalitas yang sifatnya negatif ini harus beranjak dari suatu refleksi terhadap akibat yang menjadi dampak dari perkembangan menyimpang dari seluruh masyarakat kita” (Conny Semiawan, 2000:25).
Jadi, tantangan terberat model pendidikan berpusat pada anak adalah terciptanya rivalitas di berbagai strata. Maraknya tawuran antarpelajar atau mahasiswa atau antarmahasiswa dengan aparat sangatlah menggelisahkan, dan hal ini harus kita catat sebagai dampak dari iklim rivalitas yang tercipta.
Kedua, moralitas pendidikan (termasuk krisis moralitasnya) terletak pada model pembelajaran yang seharusnya unlock the capacities, yakni gugus pembelajaran yang membuka kemampuan seoptimal mungkin yang dimiliki oleh setiap individu siswa. Karena itu, jika pembelajaran tidak membuka peluang lebar-lebar bagi berkembangnya potensi siswa, di situlah telah terjadi krisis moralitas, dan hanya tercipta robot-robot yang pandai meniru belaka. Guru dapat menjadi ”tersangka” pertama/kunci apabila proses pembelajarannya tidak mengembangkan secara opti- mal potensi siswa. Ketiga, moralitas pendidikan terletak pada right-based budget, yaitu sistem pengalokasian anggaran yang berbasis pada pemenuhan hak anak/siswa.
Model alokasi anggaran seperti bantuan operasional sekolah (BOS) sudah memenuhi syarat anggaran berbasis pemenuhan hak siswa secara individual karena unit analisisnya siswa. Semua alokasi anggaran pendidikan —tidak hanya BOS—seharusnya menggunakan unit analisis siswa, bukan seperti sampai sekarang dilakukan, yaitu berdasarkan perencanaan yang ”berbasis tahun lalu”. Kita semua tahu bahwa jumlah siswa ataupun karakteristik siswa selalu berbeda dari tahun ke tahun.
Menggelisahkan
Salah satu aspek pembentukan karakter terpenting, menurut C Semiawan (2000:29), adalah pendidikan harus mampu mendorong setiap individu itu melakukan pendakian terjal (the ascent of man). Dalam diri setiap siswa/anak, ada dua dorongan esensial, yaitu dorongan untuk mempertahankan diri dalam lingkungan eksternal yang ditandai oleh berbagai perubahan cepat; serta dorongan untuk mengembangkan diri, yaitu dorongan ingin belajar terus dan keinginan untuk mencapai ambisi tertentu.
Orang-orang semacam itulah yang (akan) memiliki karakter, tetapi, sayangnya, dunia pendidikan kita tidak serta-merta melakukan atau mengakomodasi dorongan-dorongan seperti itu. Tontonan dan informasi sehari-hari yang dilihat di televisi, atau dibaca di koran/majalah, seharusnya disadari bersama sebagai media belajar anak-anak/ siswa kita. Karena itu, selayaknya yang disajikan adalah hal-hal yang dapat mendorong anak/siswa untuk melakukan pendakian terjal tersebut. Sayangnya, yang tersaji adalah kerusuhan demi kerusuhan, demonstrasi anarkis dari satu tempat ke tempat lain; bahkan kalaupun berupa pidato tokoh, ia tampil sebagai tokoh yang tidak mempunyai sentuhan edukasi.
Banyak sekolah yang mengeluh tidak memiliki tape recorder, apalagi pengeras suara; ada juga yang mengeluh tidak memiliki penjaga sekolah yang siap ditugasi, karena ada guru yang merasa direndahkan martabatnya ketika diminta untuk mengurusinya. Rupanya, mengeluh adalah ”karakter” bangsa kita dewasa ini. Hal itu memang menggelisahkan, tetapi juga menggelikan. Pendidikan Indonesia saat ini adalah kehilangan visi pendidikan nasional sehingga tidak menjawab kepada permasalahan dan realitas kehidupan saat ini, menurut hemat saya mari kita kembalikan arah pendidikan nasional kepada visinya supaya terarah apa yang akan di capai bangsa ini dalam jangka panjang.
Penulis adalah Alumni STIE IBMI Medan, Aktif di Campus Concern Medan (CC_Medan)
Sumber : edukasi.kompasiana
0 komentar:
Posting Komentar