Pages

Kamis, 16 Juni 2011

Wajah Dunia Pendidikan Berlumur Ketakutan dan Kebohongan

Diantara gemilangnya sederetan prestasi anak bangsa Indonesia (sangat membanggakan dan mengharukan) di level nasional maupun di kancah internasional yang tidak terapresiasi dengan baik oleh pemerintah (Lihat kisah prestasi pelajar Indonesia di http://www.sekolnet.com/2011/02/sederetan-prestasi-anak-bangsa-2010-by.html), wajah dunia pendidikan nasional yang buram tetap saja membayang-bayangi bangsa ini. Sederetan prestasi emas tetap saja tidak mampu menyembunyikan bertebarannya kisah-kisah sedih dunia pendidikan Indonesia.

Pada Berita Koran Cetak Kompas hari Minggu tanggal 3 April 2011 http://cetak.kompas.com/read/2011/03/03/04463810/peringkat.pendidikan.indonesia.turun dikatakan bahwa peringkat pendidikan Indonesia di dunia merosot dari 65 bergeser menjadi 69. Walaupun penilaian ini selalu dapat diperdebatkan, hal ini tetap harus menjadi kajian bagi sistem pendidikan yang berlaku dan kita semua ikut bertanggung jawab dalam proses perbaikan kualitas pendidikan bangsa. Kualitas pendidikan akan sangat mempengaruhi masa depan Indonesia.

Beberapa kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tetapi dilakukan dengan proses instan berhasil memperburuk citra pendidikan Indonesia. Peningkatan mutu pendidikan dengan menetapkan standar hanya dengan angka-angka tertentu yang disertai lambannya peningkatan dan pemerataan struktur dan infrastruktur pendidikan menciptakan ketakutan dan kebohongan terstruktur pada dunia akademik dan semakin menjalar ke kehidupan sosial.

Ketakutan-ketakutan dan kebohongan-kebohongan dalam dunia pendidikan antara lain:

1. Ketakutan dan Kebohongan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional (UN)

UN adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Kemendiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003.

Evaluasi yang menetapkan angka minimal untuk kelulusan dengan hanya menguji beberapa mata pelajaran sekolah dan pengalaman awal pemberlakuan UN yang menunjukkan banyak kegagalan pelajar menjadikan para pelajar se-Indonesia raya, para pendidik, dinas pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan menjadi ketakutan. Para pelajar ketakutan tidak lulus, para pendidik dan lembaga pendidikannya ketakutan prestis sekolahnya menurun jika banyak murid yang gagal, dan dinas pendidikan takut di cap kualitas pendidikan di daerahnya rendah jika banyak sekolah yang gagal. Akhirnya semua bersepakat untuk melaksanakan UN yang penuh kebohongan.

Para pelajar, para guru, para pengawas UN bahkan pengawas independen bekerja dengan sistem tahu sama tahu untuk menjalankan UN dengan membiarkan muridnya untuk saling mencontek bahkan guru sebagai koordinator untuk menyebarkan kunci jawaban UN. Semua teman-teman yang berprofesi guru mengakui hal ini, walaupun dengan hati prihatin tetapi alasan pembenarnya adalah bahwa sekalipun sekolahnya bermutu, soal-soal UN tetap saja tidak mampu diselesaikan dengan baik oleh para pelajar. Lihatlah sekarang bagaimana santainya para pelajar kita menghadapi UN karena mereka telah dijamin lulus dengan janji akan diberikan kunci jawaban UN dengan bayaran sejumlah uang tertentu.

2. Ketakutan dan Kebohongan dalam Pelaksanaan Program Sertifikasi Guru

Ketakutan akan karir yang mandek dan tawaran menggiurkan akan tunjangan yang tinggi bagi guru-guru sertifikasi menjadikan begitu banyak guru yang berusaha melakukan berbagai cara untuk memenuhi prasyarat sertifikasi guru. Syarat memenuhi jam mengajar tertentu, menulis karya ilmiah dan mengikuti berbagai seminar dengan dibuktikan oleh sertifikat, mendorong para guru melakukan kebohongan akan laporan jumlah jam mengajar (karena seringkali jumlah jam mengajar tidak mencukupi), bekerjasama dengan berbagai lembaga-lembaga tertentu untuk menerbitkan sertifikat atas seminar-seminar fiktif (atau dengan membayar saja untuk mendapatkan sertifikat tetapi sama sekali tidak mengikuti kegiatan diklat/seminar), dan para guru menjadi penjiplak ulung atas karya ilmiah orang lain yang diklaim sebagai karya tulisnya.

3. Membangun Sekolah Berstandar Nasional/Internasional Vs Pemerataan Sekolah di Daerah-Daerah

Upaya-upaya pemerintah untuk membangun sekolah-sekolah negeri yang bertaraf nasional atau internasional sangatlah kita dukung. Akan tetapi euforia standar tersebut harusnya tidak dengan mengabaikan pemerataan pendidikan di daerah-daerah terpencil. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas bukan milik segelintir orang, tetapi merupakan hak asasi seluruh rakyat Indonesia.

Di wilayah Pulau Sumatera saja di kecamatan-kecamatan seringkali hanya memiliki satu SMP dan satu SMU yang biasanya terletak di ibukota kecamatan. Sementara akses antara satu desa ke desa lainnya sangat jauh dan tidak ada sarana transportasi yang memadai. Walaupun ada program sekolah gratis tetap saja banyak anak-anak yang tidak sanggup sekolah karena jarak sekolah yang sangat jauh. Bayangkan dengan Indonesia bagian Timur dapat dipastikan keadaannya jauh lebih memprihatinkan. Apalagi jika kita berbicara tentang fasilitas pendidikan, bukan jauh panggang dari api lagi tapi jauh asap dari api. Mana jaminan akan pendidikan untuk rakyat kecil dan jaminan pemerataan pembangunan?

4. Dunia Perguruan Tinggi yang Profit Oriented

Kuliah adalah barang yang mahal, dimulai dari pembelian formulir Ujian Masuk Universitas, biaya kuliah dan praktik, sampai dengan biaya wisuda semuanya serba mahal (Tidak hanya berlaku di Universitas Swasta tetapi juga Universitas Negeri). Berbagai program beasiswa tetap saja tidak mampu mengakomodir begitu banyak anak bangsa yang memiliki kecerdasan tetapi berkemampuan ekonomi rendah. Tingginya sumbangan pendidikan di perguruan tinggi seringkali menghentikan langkah para pelajar berpotensi untuk menginjakkan kakinya di Universitas impian.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa seringkali para dosen meminta imbalan tertentu untuk memberikan nilai yang layak kepada mahasiswanya. Para dosen mencomot sesuka hatinya hasil penelitian mahasiswa dan diakui sebagai penelitian sendiri untuk dijadikan bahan disertasi atau bahan untuk menaikkan kepangkatan. Tragisnya bahkan dunia perguruan tinggi menjadi lahan subur berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Ketakutan akan ketidakmampuan beberapa perguruan tinggi membiayai kegiatan akademik seringkali membuat perguruan tinggi menurunkan kualitasnya demi memenuhi kouta mahasiswa, terkadang ada perguruan tinggi yang menawarkan dengan bayaran tertentu dan jaminan mendapatkan gelar akademis.

5. Kucuran Dana Bombastis Untuk Pendidikan

Prioritas alokasi dana bagi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD untuk peningkatan penyelenggaraan pendidikan nasional bukan hanya berarti meningkatnya mutu pendidikan dan pemerataan penyelenggaraan pendidikan, akan tetapi sekaligus menumbuhkan suburkan praktik-praktik korupsi hampir di semua lini dunia yang terkait dengan pendidikan.

Pemotongan anggaran 10-20% secara tidak resmi pada setiap pengucuran dana operasional pendidikan membuat setiap program pendidikan berjalan dengan sangat tidak optimal. Korupsi sana sini pada pengadaan barang dan jasa pendidikan membuat kita menyaksikan bagaimana bangunan-bangunan pendidikan seperti sekolah dan fasilitasnya menjadi sangat tidak berkualitas dan rentan kerusakan. Belum lagi seperti korupsi Dana Bos, penyunatan gaji dan honor guru-guru bantu, dan penyelewengan dana-dana hibah untuk dunia pendidikan.

Jika kita secara bersama-sama tidak ingin berusaha untuk memperbaiki sistem pendidikan secara menyeluruh dan berkelanjutan, jika sistem pendidikan dikembangkan hanya dengan ukuran angka-angka yang tertulis diatas kertas, dan jika dunia pendidikan dijalankan dengan berpijak pada ketakutan serta kebohongan, maka perwujudan sistem pengajaran nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 31 ayat 3) hanya akan menjadi khayalan belaka.

Sumber : edukasi.kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar